Dongeng Diorama Asa

Oleh: Dewi Ayu Ningtyas, S.S.

Pada suatu pagi di suatu desa yang sangat asri mendadak terjadi wabah yang memilukan. Tepatnya di Desa Margojaya lereng Gunung Wilis. Puluhan warga dari balita hingga manula terserang wabah kaki gajah. Awal mula petaka yang menimpa satu desa itu dari keluarga Dartono. Sang Istri Sumirah yang terlebih dahulu kakinya membengkak dan besar layaknya kaki gajah.
“Sum…Sum… bangun, badanmu panas sekali…! Ucap Dartono dengan panik.
“Badanku rasanya tidak karuan pak, tolong panggilkan Bimo sekarang! Pinta Sum pada suaminya itu.
“Ya, Sum tunggulah sebentar. Aku akan segera panggil Bimo,” jawab Dartono.
Dengan Panik, Dartono mencari keberadaan anak semata wayangnya. Bergegaslah Dartono menuju Pos Kampling. Bimo sedang asik bermain gawai dengan teman sebayanya. Tiba-tiba dihampirilah sang bapak yang terenggah.
“Bimo, ayo pulanglah dulu sekarang! Ucap Dartono.
“Ini hari minggu, sesuai perjanjian aku boleh main gawai dengan teman-teman selama 2 jam”jawab Bimo.
“Ibumu panas, ayo pulang!” jawab Dartono dengan nada tinggi.
“baiklah,”jawab Bimo.
Jarak Pos Kampling dengan rumahnya tak terlalu jauh. Sepanjang langkahan kaki menuju gubuknya itu, Bimo menanyakan kondisi sang ibu.
“Tadi subuh ibu masih baisa saja Pak. Kok bisa mendadak panas? Tanya Bimo.
“Bapak juga tidak tahu. Setelah subuh ibumu masuk kamar setelah itu tak tampak memasak atau bersih-bersih rumah. Lalu bapak mau pamit ke sawah pada ibumu tiba-tiba mendapati ibumu panas dan menggigil,” terang Dartono.
Sesampainya di rumah, Bimo menuju kamar sang ibu. Memastikan kondisi ibunya baik-baik saja.
“Apa yang ibu rasakan?” tanya Bimo.
“Badanku rasanya tak enak, kaki ibu ngilu,” terang Sumirah pada anaknya.
“ibu beristirahatlah, akan aku siapkan air hangat untuk kompres demam.” Jawab Bimo.
Tak berselang lama, Dartono yang berada di teras mengasah sabit itu mendengar teriakan Jumini, tetangganya.
“Tolong, tolong…!! teriaknya.
“Ada apa? Tanya Dartono.
“Itu, Itu, Yadi bojoku kakinya tiba-tiba membesar tak bisa berjalan.”tutur Jumini.
“Sabarlah, tunggu aku panggil Bimo dulu,” ujar Dartono.
“Bimo, Bimo ikut ayah ke rumahnya Yu Jum,” ajaknya.
Tibalah di rumah Jumini untuk melihat kondisi Yadi.
“Lihatlah, kakinya sebesar itu. Sejak semalam dia tak henti-hentinya menggigil dan mengigau.” Terang Jumini.
Melihat kondisi Yadi dengan kaki yang membengkak layaknya kaki gajah dengan demam yang menggigil Bimo semakin was-was dengan kondisi sang ibu di rumah. Maka selama di jalan menuju rumahnya dia meracau.
“Apakah kondisi ibu akan sama dengan Lek Yadi? Ucapnya.
“Aku harus berbuat apa untuk ibu? Ucapnya lagi.
“aku harus mencari solusi,” ujarnya lagi.
Di tengah perjalan, Bimo melihat Rara yang menangis sesenggukan sembali berjalan. Dihampirilah Rara oleh Bimo dan Bapaknya.
“Rara kamu mengapa menangis, adakah yang jahil padamu? Tanya Bimo.
“tidak ada,” jawab Rara.
“Lalu kenapa nak? Kini Dartono yang bertanya.
“Ibuku sakit Lek Dar. Sejak semalam badannya panas dan sekarang kakinya membesar,” jawab Rara disusul tangisan yang menjadi.
“Tenanglah, aku dan Bimo akan melihat kondisi ibumu,” jawab Dartono.
Rara ialah anak yatim. Ia hanya hidup berdua dengan sang ibu Bernama Marni. Kondisi kehidupan di Desa Margojaya tak jauh-jauh dari penderitaan. Meski desanya mendapat julukan desa asri dan potensi wisata alam juga cengkih di Kota Bayu tak menjamin kesejahteraan warganya. Kemiskinan bak warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nasib anak-anak pun tak luput dati sengsara akibat perceraian.
“Ibu sudah panas dan menggigil 2 hari ini,”ujar Rara.
“Tenanglah, ibuku pagi ini juga badannya panas,” jawab Bimo
“Aku harus berbuat apa? Kakinya juga membengkak mulai pagi tadi,” tambah Rara.
“Sementara kau kompres dulu Ra,” jawab Bimo.
Selesai menjenguk Jumini, Dartono dan Bimo bergegas pulang untuk memastikan kondisi Sumirah yang sendirian. Dan benar saja, sesampainya di rumah, kondisi Sumirah tampak makin memburuk. Igauan semakin mengencang. Panas semakin tinggi dan kaki tampak mulai membengkak.
“Bimo. Bimo, Dar..Dar!” panggil Sumirah.
“Ya, bu aku dan bapak sudah pulang.” Jawab Bimo.
“Mengapa kakiku membesar seperti ini? Rasanya sakit sekali sekujur tubuhku ini,” keluh Sumirah.
“tenang buk, tenang, aku dan Bimo akan cari solusinya,” ujar Dartono menenangkan istrinya. Sementara itu Bimo masih berupaya mengompres agar demam lekas menurun.
Melihat kondisi sang ibu dan beberapa warga di Desanya yang bernasib sama. Bimo berkecamuk dengan pikirannya. Ia tampak duduk murung sembari memikirkan derita yang terjadi saat ini.
“Hidup di desa ini, deritanya tak berkesudahaan. Kami yang kecil ini mesti memanggung beban. Sementara yang di kursi kelurahan dengan santainya menyeduh kopi dan menyesap batang rokok,” ujarnya.
Pikiran berkecamuk tidak kunjung menemukan solusi. Bimo menuju Pos Kampling menemui teman sebayanya untuk bercerita dan menemukan solusi. Meski masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Bimo dan teman-temannya cukup kritis. Sebab hanya mereka yang mampu sekolah hingga jenjang SMP orang tuanya tak tamat sekolah dasar. Tak banyak juga teman sepantarannya hanya tamat SD, maka tak heran juka mereka bersikap kritis dengan kondisi yang terjadi di desanya.
“Lihatlah kondisi di desa kita saat ini,” ujar Bimo yang membuka obrolan dengan teman-temannya.
“Kemarin harga cengkih hanya lima ribu sekilo,” ujar Udin,.
“Sudah enam bulan jembatan putus, dan kita harus mekibtasi aliran sungai untuk sekolah,” tambah Ani.
“Bantuan sembako juga hanya itu keluarga kaya raya, seperti kita hanya gigit jari bukan? Tambah Wiji.
“Wabah demam ini sudah sepekan melanda dessa kita. Namun juga taka da perhatian dari kelurahan, Mbah Darsimi juga telah berpulang menderita wabah ini. Haruskan jatuh korban lebih banyak lagi? Ujar Bimo.
“Jangan..jangan.. aku tak mau kehilangan ibuku,” jawab Rara.
“Bagaimana jika kita ke kelurahan saja? Kita minta solusi Pak Lurah.
“ setuju!” sahut mereka Bersama.
Segerombolan remaja menuju kantor kelurahan dipimpin oleh Bimo. Ia bermaksud mencari Pak Lurah untuk mencari solusi atas wabah kaki gajah yang diderita warga. Keberdaan Puskesmas sudah tak mampu menampung. Berobat jalan secara mandiri sudah ditempuh dan kini mereka tak memiliki uang jika mesti berobat jalan secara mandiri. Sayangnya, sesampai di kantor kelurahan Pak Lurah yang dicari tak berada di tempat. Mereka pun kembali ke Pos Kampling untuk mencari solusi lain.
“Kita tak bisa banyak bergantung pada kelurahan jika kondisinya seperti ini,” ujar Bimo.
“Benar, sudah berkali-kali kecewa.” Tambah Wiji.
“Aku ada ide, bagaimana kalua kita kerja bakti membersihkan lingkungan,” terang Rara.
“Apa hubungannya dengan kerja bakti dengan wabah ini,” tanya Ani.
“Semalam aku bertanya Mbah Google tentang sakit yang diderita ibuku dan warga-warga lainnya. Itu Namanya Wabah Chikungunya atau kaki gajah. Makanya kaki ibuku membesar seperti gajah. Nah salah satu cara memberantas wa ah itu dengan membersihkan lingkungans ekitar rumah agar nyamuk-nyamuk oergi dan mati,” terang Rara.
“Tidak salahnya kita coba,” Bimo. Aku dan Wiji akan kumpulkan warga yang sehat untuk emlaksanakan kerja bakti di desa kita. Sementara itu Rara dan Ani nanti ebrtugas menghimbau warga Langkah-langkah pencegahan yang bisa dilakukan. Bagaimana? Tutur Bimo.
“Setuju,” jawab mereka kompak.
Bimo dan Wiji pun berkeliling desa dan membawa kentongan untuk menyampaikan ajakan kerja bakti serentak.
“Pengumuman-pengumuman, besok pagi akan dilaksanakan kerja bakti serentak di Desa Margojaya untuk mencegah wabah kaki gajah. Dimohon seluruh bapak/ibu yang sehat ikut serta,” ucap Bimo dan Wiji bergantian sepanjang mengelilingi desa.
Mendengarkan imbauan itu, warga seolah mendapat secercah harapan baru. Senyum mengembang dan mereka optimis bisa mengatasi wabah itu jika bersama-sama. Maka, keesokan harinya, Bimo beserta teman-temannya memandu kegiatan kerja bakti serentak di Desa Margojaya.
“Ani kamu di sisi timur kabarlah sampah-sampah plastic itu. Aku akan membersihkan selokan dan genangan air di sisi barat,” ujar Rara.
“Aku di sisi utara membersihkan ranting-ranting pepohonan dengan warga yang berserakan. Wiji di sisi selatan memotong rumput dan membersihkan surau,” terang Bimo.
Di sisi lain, para orang tua tersenyujm Bahagia melihat anak-anak remaja mereka yang hebat. Seusia mereka telah bisa berpikir kritis dan bermasyarakat dengan baik.
“Melihat semangat anak-anak ini kita harus yang tua harus lebih bersemangat!,” ujar Dartono.
“Benar! Aku optimis dengan Langkah kecil kerja bakti ini wabah kaki gajah di desa kita besok sudah menghilang,” tambah Ponidi.
Selang dua hari, raut Bahagia mulai terpancar di Desa Margojaya. Sumirah sudah mampu duduk di teras. Kondisinya punnuah membaik. Pun sama dengan warga lainnya yang sudah kembali beraktivitas normal. Lingkungan desa oun semakin asri dan bersih.
“Ibu bangga padamu Bimo. Terima Kasib menajdi anak hebatnya ibu,” ucap Sumirah.
“Bukan Bimo yang hebat bu, tetapi warga desa yang mau bersama-sama kerja bakti. Inilah jika kita mau bermasyarakat dan menegakan gotong royong derita akan ringan dan teratasi,” pungkas Bimo.

(Naskah dongeng telah dituturkan pada Festival Lomba Seni Sastra Siswa Nasional (FLS3N) Kabupaten Nganjuk tahun 2025)

Nganjuk, 19 April 2025

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *