Ditulis oleh: Aura Syifa
Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, Ayah, Ibu dan Aku isinya. Aku tidak pernah tau persis kapan Ayah mulai berubah jadi seseorang yang aku kagumi. Dulu waktu kecil, Ayah cuma terlihat sebagai pria yang pulang malam, jarang bicara, dan sering marah kalau aku pulang sekolah telat, membuatku Ayah cuma seperti tiang rumah. Kokoh, diam, tapi tak pernah terasa hangat.
Aku lebih dekat dengan Ibu, Ibu yang masak, Ibu yang temani belajar, ibu yang tahu semua rasa sedih dan kecewaku. Sementara Ayah? aku cuma ingat punggungnya yang menjauh tiap pagi dan suara motornya yang masuk garasi tiap malam, dan selama bertahun-tahun, aku tumbuh dengan anggapan.
“Ayah gak pernah peduli,” ucap Nadine.
Sampai suatu hari, semua itu berubah. Ibuku jatuh sakit waktu aku baru masuk kelas 3 SMA. Awalnya cuma batuk dan demam biasa, tapi lama-lama lemasnya gak hilang, dan akhirnya aku mengantar Ibu tanpa Ayah, saat itu hujan sangat deras aku berkali-kali telpon Ayah tidak ada jawaban darinya. Aku kecewa dengan Ayah tidak ada di saat hal terpenting dan akhirnya aku meminta tolong ke tetangga untuk membantuku membawa Ibu ke rumah sakit untuk diperiksa, saat disana dokter bilang paru-parunya rusak parah.
Ibu yang biasanya paling sibuk di rumah tiba-tiba jadi yang paling diam dan terbaring diranjang dan di tengah semua kekacauan itu, Ayah mulai muncul, bukan sebagai bayangan malam, tapi sebagai sosok yang nyata.
Ayah masak, walaupun gosong. Ayah cuci baju, walaupun salah campur warna. Semua perkerjaan rumah Ayah yang mengerjakannya sekarang. Ayah yang duduk di samping ranjang tidur Ibu tiap malam sambil bisik.
“Sembuh ya, Bu. Nadine masih butuh kamu,” bisik Ayah yang meneteskan air mata.
Dan aku? aku cuma bisa diem di sudut dapur, ngeliat semua itu sambil nahan tangis. Karena untuk pertama kalinya, aku liat Ayahku bukan cuma sebagai orang tua… tapi sebagai manusia.
Lelaki yang juga takut, yang juga gak siap kehilangan. yang juga hancur, tapi tetap berdiri demi anak-anaknya.
Setiap malam, setelah ngurus Ibu, Ayah ngajak aku ngobrol di teras, tidak lama. Cuma lima belas menit, kadang ngebahas pelajaran, kadang cuma bahas langit.
Suatu malam, Ayah bilang…
“Kamu pikir ayah ini keras?” ucap Ayah.
“Iya, karena Ayah gak pernah diajarin cara menjadi seorang Ayah yang baik, yang baik hanya Ibu dia selalu ada,” jawab Nadine.
“Ibu yang ngajarin Ayah tentang cinta, Ibu yang bikin ayah mau pulang.
Kamu lihat Ibu sekarang? kamu bisa ngerti sekarang kan… arti seorang Ibu itu bukan cuma ngurus rumah, tapi menjadi sosok seorang Ibu dan Ayah adalah kepala keluarga, Ayah banting tulang untuk kalian, Ayah keras karena Ayah sayang kepadamu, Ayah bukan tidak ada waktu tapi belum ada waktu, Nadine….”
Aku mendengar itu bergegas pergi dan aku menangis. Karena aku baru sadar betapa besar peran sang Ibu dan betapa keras usaha Ayah menjaga Ibu tetap hidup.
Hari-hari setelah itu berubah. Ayah jadi lebih banyak di rumah, dan aku jadi lebih banyak diam. Karena setiap aku lihat ayah, aku belajar satu hal.
“Dari Ayah aku belajar banyak tentang hidup, tentang menjadi manusia, tentang arti seorang Ibu dan betapa pentingnya perah Ayah dalam hidup anak” ucap Nadine.
Ibu akhirnya meninggal akibat paru parunya sudah tidak sehat lagi. Aku nangis di kamar, nahan semuanya di bantal, tapi Ayah? dia hanya duduk di depan foto ibu, diam dan gak keluar air mata setetes pun dari matanya, pura pura kuat di depan anaknya tetapi hatinya sudah pasti rapuh.
“terima kasih, Bu… sudah mengajarkanku banyak hal, i love you” ucap Nadine di hari pemakaman Ibunnya.
Dan di saat itu, aku tahu, aku gak akan pernah benar-benar kehilangan Ibu.
karena sebagian dari dirinya hidup di dalam Ayah. meskipun rasanya berbeda, dan sekarang… Ayah sedang ngajarin aku hal yang sama seperti Ibu ajarkan kepadaku.
Sekarang aku udah kuliah jauh dari rumah. Setiap pagi, Ayah kirim aku pesan pendek sebagai pengingat.
“Jangan lupa makan,”
“Jaga diri baik baik Nadine,”
“Kalau kamu capek, pulang,”
Terkadang ku balas, kadang tidak. Tapi setiap aku buka pesan itu, ada satu rasa yang gak pernah hilang, rasa bahwa aku masih dijaga. Bukan oleh tembok, bukan oleh uang, tapi oleh seorang Ayah yang gak banyak bicara, tapi ngelakuin segalanya dalam diam.
Dari ayah, aku belajar banyak tentang hidupku. Tentang bagaimana jadi kuat tanpa harus jadi kasar, tentang bagaimana mencintai tanpa harus berkata-kata, tentang bagaimana menghargai seseorang, sebelum kehilangan jadi satu-satunya cara untuk mengerti.
Dulu aku pikir, peran Ayah itu cuma jadi pencari nafkah. Tapi sekarang aku tahu, Ayah adalah rumah paling sunyi yang berdiri ketika semua runtuh. Dia tidak menangis, karena dia tahu anaknya butuh tiang yang tetap tegak. Dia gak banyak bicara, karena dunia udah terlalu ramai dengan suara, tapi jarang ada yang benar-benar mendengar.
dan kalau suatu hari nanti aku jadi orang tua, aku ingin anakku tahu, bahwa dari Kakeknya, yaitu Ayahku. Aku belajar menjadi manusia. bukan yang sempurna, tapi yang tetap memilih berdiri walau dalam hati sedang roboh.
“Ayah maafkan kesalah pahamku, aku dulu belum pernah mengerti sekeras itu dunia, sekarang aku mengerti, Ayah kamu selalu menjadi sosok yang kuat, aku bangga kepadamu Ayah kamu menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu. Maafkan aku saat dulu ya Ayah,” ucap Nadine.
– Selesai.
