Sang Penjaga Timplong

Oleh: Aura Syifa Azzahra

Sang Penjaga Timplong

Di sebuah desa kecil di pelosok Nganjuk yang sunyi dan diselimuti bau tanah yang khas setelah hujan, hiduplah seorang kakek bernama Mbah Sastro. Usianya sudah 60 tahun, tubuhnya mulai membungkuk, tapi semangatnya masih menyala, terutama kalau bicara soal budaya Jawa. Ia adalah satu dari sedikit orang yang masih menyimpan dan merawat wayang timplong. Seni pertunjukan kuno khas Nganjuk yang makin hari makin terlupakan.
Gudangnya penuh barang-barang antik. Topeng kayu, gamelan mini, radio tua, dan tumpukan buku-buku yang kulitnya sudah mengelupas. Tapi di antara semua itu, ada satu benda yang disimpannya paling dalam kotak kayu tua berisi wayang timplong, peninggalan dari almarhum Ayahnya yang dulu adalah dalang di desanya.
Suatu sore, cucu Mbah Sastro yaitu Laksana datang ke gudang di rumah. Anak itu penuh rasa ingin tahu.
“Kakek, boleh nggak aku lihat-lihat gudang?” tanya Laksana sambil menunjuk pintu tua yang sedikit miring.
“Boleh, tapi hati-hati. Jangan sembarangan sentuh barang-barang tua itu,” ucap Mbah Sastro.
Laksana pun mengangguk dan masuk ke dalam gudang. Bau kayu tua dan debu menyambutnya. Ia melihat setiap sudut dengan matanya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sebuah kotak kayu tua yang berdebu yang berbeda dari kotak lainnya. Di atasnya tertulis aksara Jawa yang samar “Timplong.”
Dengan penasaran, Laksana membuka perlahan kotaknya. Di dalamnya tertata rapi beberapa tokoh wayang kayu dengan ukiran khas. Matanya tertuju pada satu tokoh berbaju merah dan berhidung besar. Tangannya bergemetar saat memegangnya entah karena kagum atau ada sesuatu.
“Kakek! Ini apa?” tanya Laksana dari dalam gudang.
Mbah Sastro yang mendengar panggilan itu berjalan perlahan dan saat melihat wayang itu terbuka wajahnya berubah serius. Ia mendekat dan duduk di samping Laksana. Tangannya gemetar saat memegang salah satu tokoh wayang itu.
“Itu wayang timplong, Sana. Dulu Mbah mainkan ini di panggung desa tapi lama-lama orang-orang lupa. Mereka lebih suka nonton layar kaca daripada layar kelir,” ucap Mbah Sastro dengan sedih.
Laksana memperhatikan tokoh-tokoh wayang itu yang bentuknya berbeda dengan wayang-wayang di luar sana.
“Kok bentuknya beda ya Mbah? Ini dari kayu bukan kulit?” tanya Laksana.
“Wayang timplong memang dari kayu. Dulu dimainkan malam hari, diiringi suara angklung dan tembang Jawa. Setiap tokohnya punya cerita, punya suara sendiri. Tapi sekarang, mereka cuma tidur di dalam kotak itu, menunggu ada yang mau mendengarkan kisahnya lagi.”
Laksana terdiam sebentar, ia merasa sesuatu berubah dalam dirinya. Ia mulai tertarik belajar dari Mbahnya tentang wayang timplong, dan belajar suara dan cerita di balik setiap gerakan tangan. Laksana mempunyai sebuah ide untuk membuat sebuah pertunjukan kecil di balai desanya. Ia memberitahu Mbah Sastro dan Mbah Sastro sangat setuju dengan ide dari Laksana.
Beberapa bulan kemudian warga desa dikejutkan oleh pertunjukan kecil di balai desa. Di balik layar putih yang sederhana, suara Laksana menggema dengan logat Jawa yang masih terpatah-patah. Tapi semangatnya membara. Di samping panggung, Mbah Sastro duduk dengan mata berkaca-kaca melihat Laksana.
Semua warga desa berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan wayang timplong di malam itu. Suara wayang timplong yang khas, serta iringan suara dari angklung yang menciptakan suasana yang mistis dan sendu di malam itu. Mbah Sastro bahagia melihat cucunya Laksana bisa memperkenalkan kembali wayang timplong dari warisan almarhum Ayahnya.
Wayang timplong memang nyaris punah. Tapi warisan budaya tidak pernah benar-benar mati, selama masih ada yang mau menjaganya.
— Selesai.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *